Widget HTML #1

#34 Fase 1 - Desain Utama Perubahan Perilaku Kebiasaan sia-sia (buruk) menuju Perilaku Kebiasaan Belajar dengan Menulis

          Kita masih senantiasa tetap membahas dalam ranah jenis Kalbu yang tidak Kokoh;  

Hati yang cenderung mengajak kepada keburukan, lalu ada perlawanan ajakan kepada kebaikan.

          Tak ada bedanya dengan kebiasaan baik, kebiasaan buruk pun berada dalam suatu rangkaian (kontinum), antara mudah diubah - sulit diubah.
 
          Imajinasikan, sebundelan benang kusut dengan banyak simpul dan ikatan. Itulah permisalan tentang berbagai kebiasaan buruk yang tak kita inginkan. Seperti, 
  • terlalu stres (tegang)
  • berlama-lama lihat hp (baca: medsos) pada hal yang tidak bermanfaat, 
  • bahkan haram, 
  • atau kita sering menunda-nunda pekerjaan, 
  • dan sebagainya.
          Kita tak dapat, mengurai atau membongkarnya sekaligus, dalam satu tarikan, misalkan. Menarik benang kusut tersebut kuat-kuat, mungkin membuat semakin mbundel bin kusut bahkan dalam waktu jangka panjang.
         
          Apalagi, menghancurkan kebiasaan buruk dan memerangi kecanduannya. Kalimat dengan bahasa seperti ini membingkai suatu tantangan-tantangan yang berat, dan butuh Motivasi yang tinggi. Membutuhkan pengerahan tenaga yang besar pada satu momen. Dan, jika tidak bisa dikatakan tak akan mampu, minimal boleh dikatakan; 
  • jarang sekali berhasil menyingkirkan kebiasaan buruk, 
  • dengan menerapkan (usaha) kekerasan satu kali. 
  • Dan, mungkin malah menimbulkan semakin ruwet bin runyam. 
          Coba imajinasikan, benang mbundel, kita hancurkan, dengan membantingnya, akankah hancur?
         
          Maka, 
  • seharusnya kita uraikan, kita bongkar helai demi helai, langkah demi langkah. 
  • Dan, tentu saja mengurai benang kusut adalah dari bagian terluar lebih dahulu. 
  • Karena ke mbundelan yang paling krusial berada jauh di bagian terdalam kekusutannya. 
         Kita mesti mengadakan pendekatan secara sistematis, dan menemukan simpul yang termudah untuk dibongkar.
         
         Pertama kali, dulu sang Aku mendaftar semua makanan dan minuman yang ia makan sehari-hari. Setelah itu, dia mencoba mengkonsumsinya suatu jenis makanan satu-persatu, tanpa menyentuh makanan jenis lainnya. Ketika ia mengkonsumsi satu jenis makanan, maka dengan jeda waktu 2 jam setelah makan jenis makanan tersebut, diukurlah kadar gula di dalam darah dengan alat ukur gula darah. Waktu jeda 2 jam, dianggap zat makanan yang dimakan telah merasuk di dalam aliran darah. 
         
         Begitu pula dengan minuman. Minuman cukup jeda waktu 1 jam, telah merambah ke dalam jalur-jalur darah. 
         
         Ternyata, nasi putih sangat signifikan melonjakkan gula dalam darah, dan gula juga tentunya. Maka, ia menggantinya dengan kentang, berikutnya beras merah, beras hitam. Akhirnya Sang Aku bisa meninggalkan karbohidrat sama sekali, diganti dengan protein. Proses penguraian itu begitu cepatnya. 
         
         Apa yang sebelumnya begitu menakutkan untuk meninggalkan nasi putih dan gula, mulai terasa tak menggelisahkan dan biasa saja.
         
         Berhasil meninggalkan nasi putih, memperlihatkan sesuatu yang penting, bahwa ternyata ia lebih kuat dari apa yang dikira. Sama pentingnya dengan ketika ia bisa melihat keruwetan yang saling terhubung, sebetulnya apa yang menjadi biang kerok yang paling besar.
         
         Seandainya Sang Aku mengikuti nasehat konvesional; 
  • dengan mengkonsumsi nasi putih yang ditimbang, mungkin dia sudah menyerah duluan, 
  • karena melakukan sesuatu yang hanya mengandalkan tekad motivasi. 
  • Itu sulit. 
  • Dan, sesuatu yang sulit itu seringkali mustahil untuk dipertahankan. 
  • Lalu, ia akan mengalami kegagalan, 
  • merasa bersalah yang akan memperkuat pusaran kegagalan.
         Ketidakmampuan menghentikan kebiasaan (yang dianggap) buruk, sanggup men-"trigger" perasaan malu dan bersalah yang sangat mendalam.
         
         Mengapa?
         
         Karena, 
  • banyak gaya hidup yang menekankan tanggung jawab pribadi
  • yakni, jika kita tak mampu melakukan sesuatu yang benar, karakter (motivasi) kita lemah - padahal memang masih berubah-ubah - mengapa tidak diakui saja alias rendah hati?
  • Dan, ini - bagi orang masih memperjuangkan "jaim" (jaga image) - merendahkan, tidak membantu dalam dunia perubahan perilaku.
  • bahkan lebih kronis lagi ketika tertancap secara mendalam di kedalaman jiwa kita. 
  • Akhirnya, kita masuk dalam siklus pusaran frustasi dan disfungsi, berhenti.
          Kita sejatinya, mampu mendesain perubahan yang kita inginkan dengan cara cerdas dan lebih baik.
         
          Secara mendasar, kebiasaan buruk tak ada bedanya dengan kebiasaan baik. Mempunyai variabel-variabel yang sama. Perilaku, ya tetap perilaku, merupakan hasil dari variabel Motivasi, Kemampuan dan Pemicunya. Yang mereka bersatu serentak, simultan pada saat yang sama.

Desain Utama Perubahan Perilaku

          Kita harus punya rencana utama untuk mengobrak-abrik berbagai kebiasaan yang buruk atau tak diinginkan. Ada 3 Fase:
          
FASE 1: Fokus menciptakan kebiasaan baru yang baik, dan Alhamdulillah, kita sudah memiliki, bahkan itu tujuan kita yakni untuk menghidupkan gaya hidup belajar dengan menulis.
          
          
          
          Selanjutnya akan dibahas dan dipreteli setiap Fase, dari 3 Fase di atas tersebut.
          

Fase 1 - Fokus pada Menciptakan berbagai Kebiasaan Baru yang Baik

          Pertama, kabar baik: kita - insya Allah - bisa berubah menjadi lebih baik.

Keterampilan Melakukan Perubahan
          Kita sanggup meningkatkan keterampilan dengan mempraktikkan berbagai kebiasaan yang tak membawa beban emosional.
         
          Misalkan, 

Kita bergelut dengan kemalasan dalam mendapatkan ilmu agama, semisal mengikuti kajian. Kesibukan kita hanya urusan nafkah dan usaha, seakan kita tak punya waktu untuk ngaji. Berburu ilmu agama dalam gaya hidup orang secara umum saja tak biasa dilakukan. Dan, kemalasan ini diwariskan kepada kita. Nasehat yang sering diberikan oleh guru-guru kitapun terkadang membuat kita yang memiliki Motivasi dan Kalbu lemah dalam belajar ilmu syar'i, menjadi tak merasa nyaman. Jadi, mungkin kita berpikir menghilangkan kemalasanlah yang mesti difokuskan.
         
         Janganlah dulu, kita langsung fokus pada menghilangkan kemalasan, yang itu menjadi beban derita pada emosi kita. Namun, kita hendaknya apa yang dianjurkan pada Fase 1, yaitu menciptakan kebiasaan baik yang berhubungan (baca: berlawanan) erat dengan kemalasan kita. Misalkan, kita ciptakan kebiasaan belajar ilmu dengan menuliskannya. Penyakit itu obatnya adalah lawannya. 
 
Pergeseran Karakter
          Ketika kita menciptakan perubahan positif, ke arah kebaikan berupa belajar dengan menulis, 
  • kita bergerak menuju mendekati jati diri yang kita idam-idamkan. Yakni, Salafy Sejati, 
  • bagaimana pula Allah akan mengubah kita, jika kita tidak mulai bergerak ke arah jati diri tersebut.
  • Dan, tentu saja jati diri ini pemberian Allah ta'ala, bukanlah diri kita sendiri yang menyematkannya.
          Jika kita, 
  • merasa kesuksesan-kesuksesan kecil yang Allah berikan dalam perubahan tersebut, 
  • maka secara alami, kita akan memandang diri kita sendiri dengan cara berbeda, 
  • dan mulai menerima karakter baru yang Allah berikan kepada kita. 
          Kebiasaan baik yang kita ciptakan belajar dengan menulis, 
  • lambat laun mengembang masuk di dalam kehidupan kita. 
  • Dan, lebih dari itu kebiasaan baik tersebut memiliki efek yang lebih baik lagi, 
  • ia akan mendesak kebiasaan buruk 
  • atau mendesak kebiasaan yang tak kita inginkan
  • Atau menendang perilaku yang tak lagi sejalan dengan karakter yang kita terima, Salafy sebenarnya. 
  • Sehingga jati diri kita bermetamorfosis ke bentuk yang kita inginkan.
          Jika, kita mulai belajar dengan menulis, dan sedikit demi sedikit bertambah, maka berbagai kebiasaan sia-sia, bahkan buruk tertentu lambat laun kita tinggalkan. 
          
  • Melihat-lihat hp, hanya ingin membaca komentar teman-teman yang kurang bermanfaat tak akan sempat lagi, 
  • berganti belajar dengan menulis kalimat-kalimat faedah kajian. 
  • Ronda malam bersama teman-teman di malam hari, yang biasa diisi dengan obrolan-obrolan kurang bermutu, 
  • berganti muraja'ah bersama dari kajian yang telah diikuti. 
  • Dan sebagainya.   
          Boleh jadi, kita sebenarnya tidak mendesain untuk menghilangkan berbagai kebiasaan buruk dan sia-sia. Namun, dengan menciptakan kebiasaan belajar, ini akan lebih membantu menguatkan karakter kita sebagai Salafy seutuhnya. 

Kita sanggup mengubah lanskap (peta) kehidupan kita secara drastis. Sehingga semakin banyak kebiasaan buruk dan sia-sia tidak cocok lagi di dalam peta kehidupan kita tersebut.
          
          Hanya saja, kita tak bisa berhenti sampai di sini. Ini baru Fase 1, yang dapat kita katakan fase "persiapan". Ibarat taman Syurga telah kita buat, tetapi rumput liar akan terus tumbuh. Pada Fase 2 , saat itulah kita dapat melihat "bundelan-bundelan" ruwet secara langsung, dan kita dapat menyusun siasat dan strateginya.
          
***

Desain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya


WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Posting Komentar untuk "#34 Fase 1 - Desain Utama Perubahan Perilaku Kebiasaan sia-sia (buruk) menuju Perilaku Kebiasaan Belajar dengan Menulis"


Tanya - Jawab Islam
Bertanyalah kepada
Orang Berilmu

Menulis Cerita

Kisah Nyata
rasa Novel


Bahasa Arab
Ilmu Nahwu
Tata Bahasa
Bahasa Arab
Ilmu Sharaf
Perubahan Kata
Menulis Cerita Lanjutan
Kelindan
Kisah-kisah Nyata


Bahasa Indonesia
Belajar
Kalimat

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel


Bahasa Indonesia
Belajar
Kata

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

Disalin oleh belajar.icu
Blog Seputar Mendesain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari.