Widget HTML #1

#27 Emosi Bersyukur menciptakan Kebiasaan

Bersyukur karena Kebaikan atau Keberhasilan Kecil

          Ada sedikit cerita.

          Aku punya kakak perempuan, seorang ibu rumah tangga, sebut saja Fulanah, memiliki 5 anak, semua di bawah umur 13 tahun, ketika sekitar tahun 1998 - muslimah Salafy sering kita jumpai anaknya banyak. Lalu, si Fulanah ini pertama-tama, tentu senang berada di rumah bersama mereka, dan tak merasa menyesal. Namun, berjalannya waktu ia semakin tenggelam dan kewalahan mengurus anak-anaknya. Ketika waktu istirahat di malam hari, semua pikirannya adalah hal-hal yang tak bisa ia selesaikan hari itu. Itu terus berputar-putar di kepalanya.
   
          Ruang makan, makanan kecil berserakan, "Seharusnya aku membersihkannya dengan sapu."

          Tumpukan pakaian yang belum disetrika atau dilipat, "Seharusnya aku membereskannya."

          Wajah anak perempuannya yang kecewa, setelah ia membentaknya, karena mendorong saudaranya, "Seharusnya aku lebih bersabar terhadapnya."

          Piring-piring kotor bertumpuk di bak cuci piring, "Seharusnya aku mencuci semua piring itu ..."
          
          Semula sekedar sisa pekerjaan-pekerjaan kecil dalam daftar kegiatan, sekarang bertumpuk menjadi sesuatu yang begitu mengerikan. Seluruh pekerjaan yang belum terselesaikan bertumpuk pula dalam pikiran Fulanah di malam hari. Hal itu menjadi renungan berisi semua hal yang membuatnya tak becus menjadi seorang ibu, istri, bahkan sebagai seorang manusia.
          
          Fulanah, bukan sekedar gagal menyelesaikan tugas sebagai seorang ibu, dia sangat kecewa pada dirinya, lebih dari itu ia tak mampu mempunyai rasa bangga, rasa senang karena telah mampu menuntaskan kewajibannya.
          
          Gambaran-gambaran seorang ibu yang ideal pada buku-buku, majalah-majalah muslimah yang ia baca bukan menjadi penyemangat, tetapi malah lebih sebagai peringatan bahwa dia masih sangat jauh dari itu semua.
          
          Orang-orang dewasa sering berkata pada dirinya sendiri, "Aku telah melakukan pekerjaan itu dengan buruk."

          Dan, sangat sedikit yang berkata pada dirinya sendiri, "Aku telah melakukan pekerjaan itu dengan baik."
          
          Kita jarang, mengakui keberhasilan kecil kita dan merasa senang atas apa yang sudah kita lakukan. Merasa senang dengan keberhasilan-keberhasilan kecil mungkin menurut kita aneh. Kita selalu merasa kalang kabut dan terseok-seok menjalani hari-hari kita. Kita seringnya berfokus pada kekurangan kita, seperti halnya Fulanah di atas.
          
          Merasa senang, dan bahagia merupakan bagian penting dalam kebiasaan baik yang berhasil kita lakukan. Dan, kita telah diajari oleh Islam untuk bisa menciptakan perasaan senang ini dengan bersyukur.
          
          Saat kita bersyukur, 
  • kita telah menciptakan  perasaan positif di dalam diri kita. 
  • Jika kita pandai bersyukur dan terbiasa melakukannya, perasaan senang dan bahagia akan menjadi kebiasaan pula di dalam pikiran kita. 
  • Kita akan mendapati bahwa perilaku bersyukur sangat efektif, dan dapat dieksekusi dengan cepat, mudah
  • bahkan menyenangkan, dan membahagiakan.
          Perilaku bersyukur jika ditinjau dari sisi lain, - yaitu sisi emosi dan jiwa - adalah; 
  • sebuah perilaku taktis untuk berkembangnya perilaku kebiasaan baru 
  • sekaligus pergeseran bingkai kejiwaan, sesegera mungkin. 
          Coba, kita bayangkan,
          
          Betapa berbedanya renungan malam Fulanah, seandainya ia memiliki cara untuk membuat segala sesuatu terasa tidak terlalu timpang. Karena, hari-harinya sejatinya dipenuhi oleh momen-momen stres maupun momen-momen sukses. Ia musti berpikir lebih adil terhadap perasaannya;

✓ Mungkin dia belum sempat mengepel ruangan-ruangan rumahnya, tetapi dia bisa mempersiapkan anak-anaknya untuk berangkat ke sekolah.

✓ Mungkin ia tidak melipat pakaian dengan sempurna, tetapi ia mencuci dan mengeringkan pakaian-pakaian kotor.

✓ Mungkin dia tak sempat mencuci semua piring kotor, tapi dia telah memberi makan anak-anaknya dengan makanan sehat, dan mereka menikmatinya.
          
          Fulanah, tidak menyadari betapa pentingnya mengakui keberhasilan-keberhasilan kecil itu dengan perilaku bersyukur itu sebagai cara untuk mengubah perilaku dan kehidupannya. Dan kesuksesan-kesuksesan kecil itu telah ada di sana sejak dulu, tetapi sang Fulanah, seperti kebanyakan kita, membutuhkan keterampilan untuk mengetahui bagaimana agar pandai bersyukur.
          
          Terkadang, kita telah melakukan tindakan bersyukur, tetapi terhadap kejadian-kejadian besar. Dan, di sisi lain, karena kita sering mengucapkan kata, "Alhamdulillah", makna kata yang kita ucapkan sudah tak memiliki atsar baik pada kalbu kita. 

          Dua hal di atas akhirnya mengakibatkan kita, lupa untuk bersyukur pada keberhasilan-keberhasilan kecil, "Ala ... hal sepele, buat apa bersyukur. Bersyukur itu pada hal-hal besar ...," begitu kira-kira pikiran kita mendikte kalbu kita. 
          
          Padahal, jika kita resapi kembali makna perilaku bersyukur beserta ucapannya, maka kita akan merasa penting untuk bersyukur pada kesuksesan-kesuksesan kecil.
          
          Perasaan senang, bahagia dan tenteram akibat bersyukur merupakan suatu kekuatan hebat untuk menumbuhkan kebiasaan.
          
          Saat ketika kita melakukan perilaku bersyukur, seperti mengucapkan, "Alhamdulillah" , 
  • emosi kita mengakses suatu tempat di pikiran kita, 
  • bahwa kita telah mendapatkan "imbalan" atau "ganjaran"  kenikmatan berupa kebaikan yang telah diberikan oleh Allah ta'ala, 
  • dengan memberi kepada-Nya segala pujian
  • Ganjaran tersebut menimbulkan rasa lega, senang dan tenang di saat yang tepat.   
> Dan, kita telah membuat pikiran kita mengenali dan memprogram urutan perilaku yang baru saja kita lakukan.
          
> Dengan kata lain, kita sanggup meretas pikiran kita untuk menciptakan kebiasaan baru dengan mensyukurinya. Dengan demikian kebiasaan baru mengalami penguatan. 
          
          Islam telah lama mengajari kita untuk demikian, dan kita tanpa sadar mengalami suatu terobosan untuk berubah menjadi lebih baik.
          
          Dan, sudah tiba saatnya kita menyambut perasaan senang, dengan perilaku bersyukur telah menulis 5 kalimat faedah kajian Islam.
          

Merasa Lega, Memperkuat Kebiasaan

          Masih jelas teringat momen itu. 

          Siang itu cuaca sangat cerah dan gerah. Matahari begitu terik. Tetapi, tidak untuk di rumah kontrakan mungil tersebut. Adem, teduh di bawah rindangnya pepohonan daerah ujung selatan ibukota. Ada bahagia di sana.

          "Ayo, sayang ... kamu bisa!" istriku mengulurkan tangannya untuk menyambut si kecil. Dan, si kecilpun mulai lincah berjalan.
         
          Beberapa menit yang lalu, dengan geraknya yang masih goyah, tetapi bertekad kuat, si kecil berdiri sendiri sambil berpegangan pada dinding. Lalu ia bergeser, sepanjang tepi dinding selama beberapa menit.
         
          Aku dan istri mengawasi, harap-harap cemas. Kami belum siap, untuk melihatnya bisa berjalan, karena memang belum belajar berjalan "rambatan". Apakah hari ini, dia mulai belajar berjalan?
         
          Akhirnya, si kecil terlihat dari wajahnya ia mengumpulkan keberaniannya dan melepaskan satu tangannya dari dinding.
         
          Tiba-tiba ia setengah berlari menyebrangi ruang tengah kami yang serbaguna, untuk ruang tamu, ruang makan, ruang belajar bahkan ruang kerja. Si kecil berhenti dari keberanian berjalannya ketika menggapai kusen jendela, yang daun jendelanya sedang terbuka. Jendela itu memang dirancang rendah, sehingga si kecil sanggup berpegangan pada kusennya.
         
          Aku dan istripun terkesiap, terkejut, belum siap menerima kekaguman dan kecepatan si kecil begitu cepat bisa berjalan.
         
          "Alhamdulillah, Khonsa' bisa!" kami menjerit, setengah terbelalak mata-mata kami.
         
          Kami pun memeluk putri kami yang baru satu. Dan, si kecil pun tersenyum terkekeh-kekeh. Rasa senang, bahagia bergetar di kalbu-kalbu kami.
         
          Berikutnya, lebih mudah lagi.
  • Berjalan, bagi anak kecil merupakan perilaku yang diulang-ulang, 
  • sampai perilaku tersebut menjadi kebiasaan alami
  • Dan, orang tua pun bersorak dan bersyukur untuk anak mereka. 
  • Ini adalah reaksi alami dari orang-orang tua dimanapun berada, di belahan ujung dunia manapun.  
          Lalu, apakah akibat sorakan dan kalimat-kalimat syukur dari perwujudan rasa bahagia pada waktu yang tepat - serta merta tanpa jeda waktu - tersebut?
         
          Akibatnya adalah: 

Hal itu akan membantu dan mendukung anak mereka untuk belajar berjalan dengan lebih cepat lagi.
         
         Dan, belajar adalah; 

proses yang digunakan pikiran kita untuk menfasilitasi perubahan dalam perilaku, akibat respon dari lingkungan atau hal-hal di luar si pemilik pikiran.
         
         Perubahan-perubahan bertujuan: 

supaya memperbesar peluang kita untuk bertahan hidup, tumbuh, berkembang semakin baik dan semakin berkualitas.
         
         Serangkaian pengalaman positif, seperti; keberhasilan dalam belajar dengan menulis 5 kalimat faedah kajian, 
  • dapat memperkuat perilaku tersebut, 
  • yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan
  • Apapun yang memberi kita kenikmatan secara langsung (instan) bisa memperkuat suatu perilaku 
  • dan lebih mungkin untuk dilakukan kembali di masa yang akan datang.
         Misalkan lagi, 

makanan bisa menjadi alat membuat orang-orang datang tepat waktu, pada suatu pertemuan rapat dengan menawarkan beberapa camilan yang menarik dan sangat lezat.

          Terbebas dari ketidaknyamanan fisik, emosional, dan kejiwaan juga merupakan pengalaman positif. Contoh pengalaman pribadi;
         
          Saat itu, jam 11 malam, aku gelisah memikirkan pekerjaan desain rumah klienku yang belum juga selesai. Tenggat penting besok, klien meminta kirim beberapa file gambar, karena rumah tersebut akan segera dibangun. Namun, apa boleh buat tubuhku sudah meminta haknya. Mata telah "kriyep-kriyep", bahkan aku hampir-hampir jatuh dari kursi kerjaku, gara-gara kepala seperti bertambah berat, dan gaya tarik bumi semakin menghisap diriku.

          Begitu aku terjaga dari lelapku, aku khawatir, jangan-jangan klien telah menghubungiku. Pikiranku membuat aku gelisah.

          Aku ambil gawai cerdasku dari meja kecil. Buka. Ketuk pasword . Deg-degan terasa di dada ketika melihat angka merah notifikasi begitu banyak.

          Ketuk aplikasi. Searching nama klien.

          Ternyata tak ada angka notifikasi pada nama klien tersebut.

          Ketika aku konfirmasi kembali kepada klien, ternyata pembangunan rumahnya diundur, tetapi tidak memberi tenggat waktu sampai kapan.

          Fuih! ..., aku merasa lega. Aku masih bisa meneruskan desainku. Masih ada waktu, entah berapa hari lagi.
         
          Jika dilihat dari sisi "perasaan lega" tersebut, ini merupakan momen positif, momen yang menimbulkan perasaan senang, dan mengeluarkan hormon dopamin yang mengendalikan "sistem imbalan" di pikiran kita.
         
          Maka, keesokan aku akan membuka HP untuk kedua kalinya, mengecek pesan klien, dan tak ada pesan apa-apa, dan untuk kedua kalinya aku merasa lega.
         
         Kemudian, hari-hari berikutnya mengecek pesan klien tersebut akan mulai menjadi kebiasaan. 
         
         Dan, tahukah apa yang menyebabkan melihat pesan klien itu menjadi kebiasaan?
         
         Menurut penelitian, 
  • ternyata setelah menjadi kebiasaan
  • bukan lagi pesan klien yang ditunggu-tunggu menjadi tujuan, 
  • tetapi "perasaan lega" itulah yang menjadi sebabnya. 
  • Rasa tegang sebelum membuka HP, lalu diakhiri merasa lega, tak ada pesan dari klien, 
  • membuat sang Aku ingin mengulangi dan mengulangi lagi.
         Tanpa sadar sang Aku, telah meretas sistem ganjaran. Dimana, ia telah menciptakan suatu kejadian atau perbuatan yang direkam bawah sadar, yang oleh ahli neurosaintis (pakar otak) disebut "kesalahan prediksi ganjaran".
         
          Bagaimana itu proses kerjanya?
         
1. Pikiran kita secara konstan merekam, dan merekam ulang pengalaman, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pergerakan di sekitar kita. 

2. Nah, berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut sebelumnya, pikiran kita menyusun prediksi tentang apa yang akan kita alami dalam situasi apapun.
         
          Jadi, terkait pengalaman pribadi di atas;
  • Pikiran sang Aku akan memprediksi apa yang akan terjadi bila, aku membuka pesan di aplikasi HP terkait keinginan klien untuk dikirimi gambar rumahnya (oh tidak!)
  • Dan, ternyata ketika suatu pengalaman terjadi melenceng dari pola yang diharapkan - diperkirakan - diprediksi - oleh pikiran sang Aku (oh, tidak ada pesan dari klienku!)
  • saat itulah aku mengalami apa yang telah disebutkan di atas: "kesalahan prediksi ganjaran", 
  • dan pikiran kita akan melepaskan dopamin, yakni hormon yang timbul dari perasaan senang dan lega
  • Kemudian bawah sadar kita, akan dengan segera memprogram perilaku baru itu sebagai suatu yang mesti sang Aku ulangi, kecanduan perasaan senang dan lega.
          Hal sama terjadi saat sang Aku dan istri sebagai orang tua memekik, bersorak senang ketika si kecil Khonsa' belajar berjalan. Pikiran si kecil mengeluarkan dopamin dan memprogram "berjalan" sebagai suatu yang menyenangkan, dan suatu hasrat yang jelas-jelas mesti dilakukannya lagi.
          
          Belajar dengan menulis, dan menulis untuk belajar, 
  • selayaknya diakhiri dengan rasa syukur, ucapan "Alhamdulillah"
  • dan mungkin ditambah ekspresi tubuh. 
  • Sehingga suasana emosi yang bahagia, dan senang timbul, 
  • lalu direkam oleh pikiran kita, sehingga ada hasrat untuk mengulangi dan mengulangi lagi.
          Pada bahasan berikutnya, kita akan bongkar lebih terurai lagi, mengapa emosi senang begitu efektif menciptakan kebiasaan.

Emosi, Menciptakan Kebiasaan

          Menurut pengamatan, telah ditemukan bahwa kebiasaan mampu terbentuk dengan sangat cepat, asalkan orang-orang yang melakukan kebiasaan tersebut memiliki emosi positif yang kuat terkait dengan kebiasaan tersebut.
         
          Ketika kita mendesain pembentukan kebiasaan, kita sebenarnya sedang mendesain emosi.
         
          Saat berhubungan dengan perilaku, ada 2 kutub yang saling berlawanan, yaitu:

✓ Keputusan, dan
✓ Kebiasaan.
         
          Keputusan butuh pertimbangan, sedang kebiasaan tidak

Kita kebanyakan menimbang-nimbang untuk memutuskan jubah, atau sarung mana yang akan kita pakai untuk hari itu. Namun, kita tak akan menimbang-nimbang apa-apa ketika membawa ponsel saat berangkat kegiatan hari itu. Kita bawa begitu saja, dan itu terjadi secara otomatis.
         
         Berikut sebuah model sederhana untuk menjelaskan saling berlawanannya Keputusan VS Kebiasaan.
  • Jika kita melakukan perilaku baik, lalu langsung mendapat reaksi emosional yang positif, maka perilaku itu menjadi lebih otomatis
  • Semakin besar reaksi perasaan positif, maka perilaku semakin otomatis
  • yang akhirnya menjadi kebiasaan tanpa pertimbangan pikiran
  • akan tereksekusi begitu saja di bawah sadar kita.     
          Perhatikan contoh berikut, yang merupakan pengalaman pribadi dalam Belajar dengan Menulis.

          Menulis 5 kalimat faedah kajian setelah shalat Isya VS Menulis 5 kalimat faedah kajian setelah shalat Subuh. Pertama kali dicoba melakukannya setelah shalat Isya. Mungkin dianalisis, keuntungan atau kekurangan dibanding setelah shalat Subuh. Ternyata, apa yang dirasakan sulit untuk konsisten menulis kalimat kajian setelah shalat Isya. Maka dicobalah waktu setelah shalat Subuh.
         
          Ketika diganti waktunya setelah shalat Subuh
  • aku mendapatkan pengalaman yang bagus,
  • dan terasa lebih mudah 
  • dan menyenangkan
  • Karena menulis kalimat faedah kajian tersebut dilakukan dalam keadaan tubuh segar.       
          Lain halnya ketika dilakukan setelah shalat Isya, badan dalam keadaan capek, bahkan kadang tak terlaksana, sementara waktu berjalan menuju keesokan harinya. Sehingga terkadang belum sempat dilakukan, hari telah berganti.
         
          Namun, ketika dilakukan setelah shalat Subuh, jika mengalami kemunduran waktu karena suatu sebab, aku tetap bisa menuliskannya pada hari itu pada kesempatan lainnya. Sehingga perkiraan setelah shalat Subuh, hanya lebih segar ternyata melebihi ekspetasiku. Dimana ia masih mempunyai kesempatan lain pada hari itu, tetapi untuk setelah shalat Isya, tidak.
         
          Maka, untuk kali berikutnya, ketika ingin menulis kalimat faedah kajian, aku hampir tidak memikirkan bagaimana perilaku itu tercapai, bahkan aku tak mempertimbangkan setelah shalat Isya sama sekali. Tak ada timbang-menimbang keputusan yang butuh diambil lagi. Ketika pulang dari shalat Subuh berjamaah di masjid, dan setelah menutup pintu rumah, aku menulis kalimat faedah kajian.
         
          Ya, kebiasaan belajar dengan menulis setelah shalat Subuh, secepat itu, cukup dilakukan satu kali saja. 
         
          Sedangkan banyak perilaku perlu waktu lebih banyak untuk berubah dari suatu perilaku yang butuh keputusan menjadi kebiasaan yang otomatis. 

Emosi perasaan yang menyenangkan menciptakan kebiasaan.
         
          Ada kabar buruk, ketika emosi menyenangkan bisa menciptakan kebiasaan. Yaitu hal sama terjadi bila itu perilaku buruk. Pikiran kita tak peduli, apakah itu perilaku buruk, jika itu menimbulkan emosi menyenangkan, maka itu akan menjadi kebiasaan, walaupun kebiasaan itu tak kita inginkan.
         
          Intinya, pikiran sistem ganjaran kita sangat dipengaruhi oleh emosi menyenangkan, tanpa melihat apakah itu kebiasaan baik atau buruk. 
         
          Namun, setelah kita mengetahui cara kerja pikiran kita, kita bisa meretasnya untuk membantu kita mengubah perilaku baik menjadi kebiasaan, termasuk perilaku belajar dengan menulis, menjadi kebiasaan kita sebagai seorang Salafy.
          
          Bagaimana caranya?
         
         Yaitu, 
  • cobalah meresapi perasaan bersyukur lebih dalam
  • dan lebih bermakna ketika kita telah melakukan perilaku belajar dengan menulis walaupun sekecil apapun
  • Betapa segala puji bagi Allah Subhana wa ta'ala yang telah memberi nikmat besar kepada kita sehingga kita bisa belajar dengan menulis secara mandiri. 
  • Yang itu semua akan memudahkan kita menuju Syurga-Nya.
          Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ù…َÙ†ْ Ù„َÙ…ْ ÙŠَØ´ْÙƒُرِ الْÙ‚َÙ„ِيلَ Ù„َÙ…ْ ÙŠَØ´ْÙƒُرِ الْÙƒَØ«ِيرَ

         “Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” 

(HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667)

          Semestinya kita pandai bersyukur terhadap kebaikan meskipun sangat kecil sekalipun.
  • Dengan meresapi betul-betul perilaku bersyukur, 
  • bersamaan itu pula kita mengucapkan, "Alhamdulillah ..."
  • kita meretas jalur-jalur perilaku di pikiran kita. 
  • Dan, kita mendapatkan akses menuju potensi manusia yang mengagumkan untuk belajar dengan menulis, 
  • dan perubahan menuju amaliyah yang semakin baik, batiniah dan lahiriah.
          Kita mempunyai peluang untuk menggunakan mesin pikiran kita untuk merasa senang dan mengubah perilaku, dengan memasukkan perasaan bersyukur dan berhasil (sukses) melakukan kebaikan belajar dengan menulis. 

          Merasa senang setelah melakukan kebaikan adalah wujud dari keimanan itu sendiri. (Ucapan Ustadz Usamah Mahri dalam kajian Fathul Majid).

          Sehingga kita "kecanduan" ingin mengulanginya lagi dan lagi.

***
         
Desain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya


WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Posting Komentar untuk "#27 Emosi Bersyukur menciptakan Kebiasaan"


Tanya - Jawab Islam
Bertanyalah kepada
Orang Berilmu

Menulis Cerita

Kisah Nyata
rasa Novel


Bahasa Arab
Ilmu Nahwu
Tata Bahasa
Bahasa Arab
Ilmu Sharaf
Perubahan Kata
Menulis Cerita Lanjutan
Kelindan
Kisah-kisah Nyata


Bahasa Indonesia
Belajar
Kalimat

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel


Bahasa Indonesia
Belajar
Kata

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

Disalin oleh belajar.icu
Blog Seputar Mendesain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari.