#26 Gangguan sebagai Tambatan untuk Perubahan Akhlak
Gangguan sebagai Tambatan Indah
Saat, ketika kita belajar mendesain, bahkan lalu mendesain ulang berbagai Pemicu dalam kehidupan kita, kita akan menemukan cara-cara baru untuk mengatasi situasi yang bisa saja membuat kita stress. Situasi gangguan.
Bisa hidup teratur dan tenang, dengan perencanaan jadwal yang matang, adalah dambaan dalam mencapai aspirasi belajar dengan menulis. Dan, tanpa terasa tahun 2019, ketika wabah Covid-19 mulai merebak, aku malah sanggup fokus berlatih untuk menulis berbagai tulisan. Kondisi lock down halus, dalam artian musti banyak berada di rumah, dan tak banyak keluar berpergian, membuat semakin produktif dalam kegiatan menulis. Akhirnya, berakibat tercetaknya buku "Menulis Artikel Asyik Dibaca". Lalu kemudian, timbul buku-buku yang lainnya dan blog tentang menulis efek dari selalu berada di rumah.
Tiba-tiba, suatu hari ada pesan melalui aplikasi, "Om, ibu sakit, tidur terus ...," itu pesan dari keponakan, yakni putra kakak yang tinggal bersama ibuku di ibukota.
Setelah itu keponakan menvideo-callkan ibu. Memang terlihat ibu tidur terus, sulit dibangunkan.
Singkat kata, keesokan paginya, ibu dibawa para keponakanku dan anakku yang berjumlah 5 orang, untuk dibawa ke Rumah Sakit.
Ketika ibu diperiksa, ternyata ibu telah terinfeksi Virus Covid-19. Dan, berkomplikasi ke sakit stroke.
Akhirnya ibu, di karantina selama 11 hari, setelah itu ibu dinyatakan telah steril dari Virus tersebut, dan boleh pulang.
Hanya saja akibat, komplikasi strokenya itu, ibu hanya bisa berbaring, makanan melalui selang via hidung dan buang air kecil dengan kateter, sedang buang air besar dengan pampers.
Akhirnya, keluarga besar memutuskan, agar ibu langsung dibawa ke rumah keluarga kami di Kedu, untuk perawatan lanjutan. Kepulangan ibu dengan kondisi seperti itu, tentu dengan kendaraan ambulan.
Sesampai di rumah, kami berusaha merawatnya, dengan segala keterbatasan baik fasilitas rumahku, maupun kemampuan keluargaku untuk merawat. Dan, ibu kami, akibat strokenya itu tak bisa bergerak, tak bisa bicara, dan bahkan pikirannya sudah tidak seperti normalnya kita.
Selain hal ini, perlu disyukuri karena telah diberi kesempatan merawat ibu, ini jelas-jelas merupakan gangguan bagi keteraturan hidup keluargaku, yang punya kegiatan mengajar sebagai guru.
Awal-awal perawatan ibu, untuk mengganti pampers saja, kami butuh tiga orang dalam melakukannya. Dan, kegiatan tersebut yang paling menyita waktu dan jadwal kegiatan harian.
Alhamdulillah, setelah dilakukan suatu jenis terapi, akhirnya ibu tubuhnya bisa digerakkan, dan bisa bicara kembali. Hanya saja karena pikirannya disamping pikun, telah agak rusak akibat sakit strokenya tersebut. Ibu terkadang bicara sendiri, seperti bicara pada seseorang, dan juga terkadang komunikasi agak terkendala. Bahkan, sering berbantahan dengan kami yang merawat. Kondisi-kondisi tersebut menggerus emosi dan perasaan kami. Bahkan, karena komunikasi tidak nyambung, kami sering dimarahi oleh ibu. Suasana capek merawat ibu, membuat emosi terpicu, akhirnya akupun ikut marah-marah. Allah Mustaan.
Gangguan itu seakan suatu rutinitas harian, sampai-sampai, kami tak sanggup mengikuti jadwal mengajar pada institusi pendidikan dimana kami ditugaskan.
Ditengah keribetan kegiatan kami yang tak jelas tersebut, aku coba memperdengarkan suatu kajian Islam via HPku untuk didengarkan ibu. Ternyata, dengan mendengarkan kajian tersebut, ibu perhatiannya agak terpusat fokus di ceramah ustadz yang kami perdengarkan. Situasi tersebut, membuat kami lebih mudah merawat itu, terutama pada saat-saat penggantian pampers.
Kami pikir, ini mesti diseriusi. Dan, kelanjutannya aku membeli speaker aktif yang besar, agar kajian bisa didengarkan dengan volume suara mumpuni untuk didengarkan ibu. Dan, memang akibat sakit stroke tersebut pendengaran ibu agak berkurang.
Ternyata dibalik peristiwa pandemi wabah Covid-19, ibu sakit, dan kerepotan merawat beliau ada hikmah yang sangat besar, dalam kebiasaan belajar dengan menulis.Apakah itu?
Aku bisa ikut mendengarkan kajian-kajian yang kami perdengarkan untuk ibu. Banyak materi yang selama ini aku seperti tak ada waktu untuk murojaah, akhirnya aku bisa mendengarkannya. Dan, ini menjadi:
✓ Pemicu dari Tindakan, dengan Tambatan ketika penggantian pampers ibu oleh kami, yang tadinya merupakan Gangguan bagi kami.
✓ Kebiasaan Selagi, yaitu "Selagi merawat ibu, kami memurojaah materi kajian Islam."
Dan, ibupun ikut tenang mendengarkannya, tidak marah-marah lagi. Terkadang kami perdengarkan murottal Al-Qur'an, dimana kamipun bisa mendengarkannya sebagai momen murojaah hafalan.
Kegiatan kami dalam mengajarpun kembali normal, sanggup berjalan mengikuti ritme yang diinginkan institusi pendidikan. Bahkan kehidupan ilmiah dan amaliyah kami mengalami perubahan sedikit demi sedikit semakin baik, dibanding sewaktu tak ada kegiatan merawat ibu, oleh sebab Kebiasaan Selagi tersebut.
Inilah, yang kita menemukan: Kebiasaan Baik, dimana suatu Gangguan bisa kita mengubah dan meretasnya menjadi Tambatan Indah.
Kesulitan dan kesempitan itu ada kebaikan dibaliknya, membuat kita semakin fokus. Sedang keluasan dan keluangan itu bisa membuat kita abai.
Contoh di atas tanpa sengaja terjadi, dan mungkin bukan hal yang besar. Namun, itulah cara memanfaatkan kekuatan setelahnya dengan trik manipulasi kreatif dan positif.
Bahasan berikutnya, juga terkait suatu Gangguan, yang bisa diubah menjadi Tambatan dalam mengubah sifat buruk, menjadi sifat atau karakter (akhlak) baik yang kita inginkan.
Gangguan sebagai Tambatan untuk Perubahan Akhlak
Kita bisa menciptakan Kebiasaan Baik yang luar biasa, dimana kebiasaan tersebut sebagai momen pembentukan sifat atau karakter baik yang kita belum memilikinya.Terkadang, di sekitar kehidupan kita ada orang-orang yang sering memberatkan orang lain, yang disebut "tsuqala". Istilah ini ada di dalam Kajian Kitab Raudhatul Uqala' wa Nuzhatul Fudhala, penulis Ibnu Hibban Al-Busty Rahimahullahu, yang dikaji oleh Ustadz Usamah Faishol Mahri.
Urusannya sulit dan panjang dengannya. Tak mau mengerti orang lain. Bukan orang yang simpati, apalagi empati. Membuat orang menjauh darinya. Selalu merepotkan orang lain.
Sampai-sampai jika ia ada di suatu kumpulan orang, dan kita mau ikut bergabung, berpikir, "Duh, ada orang itu ...". Saking buruknya tsuqala, para ulama mendoakan kejelekan padanya.
Jelas, orang seperti ini gangguan bagi kita atau orang lain. Hanya saja, terkadang kita mesti ada urusan dengan para tsuqala, dan ini tidak mungkin kita hindari. Bahkan, kita bisa terjebak perbincangan yang tak mengenakkan dengan mereka. Sehingga boleh jadi setelah itu perasaan kita tak enak sepanjang hari, dan kita merasa kesal dan kecewa.
Jadi, jika kita mengalami hal tersebut, ketika kita telah mengetahui bahwa Gangguan bisa menjadi Tambatan, maka kita mesti mencoba sesuatu.
Menghadapi tsuqala ini, terkadang kita tidak bisa prediksi kondisinya. Terkadang itu ibarat cuaca buruk yang terlihat akan datang, tetapi di kesempatan lain kondisi itu datang seketika tiba-tiba. Serba tak terkendali.
Namun,
- yang bisa kita prediksi atau kendalikan adalah perasaan kita sendiri setelah itu.
- Jadi, itulah yang lebih mungkin mampu kita kendalikan.
- Kita bisa memindahkan fokus dari sang tsuqala ke diri kita sendiri.
- Yakni, memanfaatkan perilaku Sang Tsuqala sebagai Pemicu. Ya, Pemicu dari tindakan.
Jadi, kita bisa membuat rencana:
✓ Setiap kali kita merasa kesal dan kecewa oleh sebab Sang Tsuqala,
✓ kita (akan) langsung melakukan hal kecil yang menyenangkan untuk diri kita sendiri, yakni tersenyum,
✓ lalu mengucapkan, "Alhamdulillah" sebagai bentuk peringatan rasa bersyukur.
Ini ramuan yang sangat bagus. Seakan-akan kalbu kita berkata,
"Oh, lihatlah aku kesal dan kecewa, kurasa ini saatnya aku untuk tersenyum dan bersyukur."
- Bukannya bereaksi terhadap Sang Tsuqala,
- kita malahan meninggalkan dia,
- dan sanggup berpikir lebih jernih,
- dan melanjutkan kegiatan kita hari itu secara normal,
- seakan tak ada terjadi apapun, setelahnya.
- Hari-hari kita tidak kacau, dan kita merasa plong.
Kita akan memandang Gangguan Sang Tsuqala sebagai suatu Tambatan yang baik, untuk setelahnya melakukan perilaku kebiasaan yang baik pula.
Ini memang logika yang aneh, tetapi hal tersebut membuat kita bisa melewati situasi yang sulit dengan rendah hati. Dan, kita tak bisa selalu menyingkirkan atau menghindari orang-orang seperti itu dan situasinya dari kehidupan kita. Namun, sekali lagi kita masih dapat mengambil kendali terhadap sikap kita.
Itulah dia, kita dapat memanfaatkannya sebagai Pemicu tindakan yang luar biasa. Yaitu,
Ini memang logika yang aneh, tetapi hal tersebut membuat kita bisa melewati situasi yang sulit dengan rendah hati. Dan, kita tak bisa selalu menyingkirkan atau menghindari orang-orang seperti itu dan situasinya dari kehidupan kita. Namun, sekali lagi kita masih dapat mengambil kendali terhadap sikap kita.
Itulah dia, kita dapat memanfaatkannya sebagai Pemicu tindakan yang luar biasa. Yaitu,
menggunakan perilaku seseorang sebagai Pemicu, untuk memberikan respon yang baik yang merupakan kebalikan dari respon yang dapat merugikan diri sendiri.
Dan, ini adalah ide cerdas, yang kita bisa terapkan dalam segala situasi ketika kita tak berdaya.
Ketika ramuan perilaku tersebut berulang-ulang kita lakukan, sebagai suatu kebiasaan baru, akhirnya tanpa sadar ia akan otomatis keluar begitu saja, karena telah di bawah kendali dan terekam di bawah sadar kita. Dan, hebatnya tanpa sadar pula, telah tertanam suatu karakter pada kita, yaitu: sabar.
Perubahan karakter atau sifat menjadi lebih sabar pun,
- selain berpengaruh pada diri kita,
- ini akan berpengaruh pula pada lingkungan kita, orang-orang di sekitar kita.
- Energi positif tersebut menyebar, memberi efek-efek baik.
- Bahkan, boleh jadi akan menjadi umpan balik Sang Tsuqala terikut tersadar apa yang selama ini ia lakukan.
- Mungkin saja, kita menjadi sebab perubahan Sang Tsuqala, menjadi orang yang ringan, yang disebut dengan istilah orang yang khofifah.
Terkadang pula, kebaikan itu akan berkembang. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula. Yang hal-hal tersebut tidak kita niatkan dari awal. Padahal, kita hanya ingin lepas dari situasi yang tidak nyaman tersebut, mengubahnya menjadi suasana yang fresh, segar.
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ’anhu berkata,
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ’anhu berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau bersabda, ‘Bertakwalah Anda pada Allah dan bersabarlah’.
Wanita itu menjawab, ‘Menjauhlah engkau dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibah yang menimpaku.’ Wanita itu tidak tahu bahwa yang berkata itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu: ‘Sesungguhnya (orang yang berkata tadi) adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam’.
Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia tidak mendapati di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam penjaga pintu. Lalu wanita ini berkata (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sembari minta maaf), ‘Aku tadi tidak mengenalmu.’
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya kesabaran (yang hakiki) adalah saat pukulan pertama (musibah itu terjadi pertama kali)’”
(HR. Al-Bukhari, no. 1203 dan Muslim, no. 1535)
Salah satu faedah Hadits di atas adalah, bahwa, hakikat sabar yang sebenarnya adalah saat pertama kali seseorang mendapatkan musibah.
Salah satu faedah Hadits di atas adalah, bahwa, hakikat sabar yang sebenarnya adalah saat pertama kali seseorang mendapatkan musibah.
Sehingga sabar itu adalah;
sifat atau karakter yang otomatis ketika ada yang memicu. Dengan demikian, agar melekat sifat sabar pada diri kita, perlu dilatih, berulang-ulang.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi di dalam karyanya Mukhtashar Minhajul Qashidin mengatakan, bahwasannya;
Dan, bahwasannya penyebab penyakit pada badan tidaklah dapat diobati kecuali dengan lawannya.
- Penyakit demam (badan panas) diobati dengan sesuatu yang dingin. Sebaliknya, penyakit yang bersifat dingin diobati dengan sesuatu yang panas.
Begitu pula, akhlaq rendahan yang ia termasuk penyakit kalbu, pengobatannya adalah dengan lawannya.
- Penyakit kebodohan diobati dengan ilmu,
- penyakit kikir diobati dengan kedermawanan. Dan,
- penyakit sombong diobati dengan tawadhu',
- penyakit rakus diobati dengan menahan ambisi.
Seseorang harus menanggung pahitnya obat dan harus sangat sabar dalam menahan keinginan demi mencapai kesembuhan. Dia mesti menanggung pahitnya perjuangan dan bersabar dalam mengobati penyakit hati.
Bahkan, pengobatan penyakit kalbu ini lebih utama.
Karena, penyakit badan akan selesai dengan datangnya kematian, sedangkan penyakit kalbu adalah siksaan yang terus berlanjut setelah kematian untuk selama-lamanya.
Dan, sepantasnya bagi orang yang mengobati jiwa-jiwa muridnya untuk tidak langsung memberikan latihan jiwa pada bidang tertentu. Namun, hendaknya ia
- mengetahui akhlaq-akhlaq mereka dan
- penyakit-penyakit kalbu mereka.
Sebab, mengobati penyakit tak bisa dilakukan dengan satu cara saja. Maka,
- > jika dia melihat kebodohan tentang syariat, hendaknya ia mengajarinya pertama kali thaharah, lalu shalat dan ibadah.
- > Jika ia melihat kesombongan, hendaknya ia membawa orang tersebut kepada tawadhu' (rendah hati), atau
- > orang sangat pemarah semestinya kepada sifat ketenangan.
Hal yang sangat dibutuhkan dalam latihan jiwa, adalah kuatnya tekad (bersungguh-sungguh).
Referensi link, silakan TAP /KETUK > di sini
Begitulah sejatinya, ternyata karakterisasi (perubahan akhlak) itu bisa kita bentuk dan mendesain secara sengaja pada diri kita sendiri. Hal tersebut bisa didesain, asalkan;
> Langkah pertama kita, yang betul-betul perlu kita catat adalah, bahwa:
✓ kita menyadari adanya kekurangan suatu sifat baik pada diri kita,
> Langkah kedua, adalah:
✓ berniat kuat (bersungguh-sungguh) ingin menghilangkannya dan mengubahnya menjadi sifat yang berlawanan dengan kekurangan tersebut.
Maka, pola atau ramuan untuk melekatkan sifat sabar pada diri kita pun, bisa kita kreasikan secara sengaja pula untuk melekatkan sifat baik lainnya pada diri kita. Asalkan Pemicu dari tindakannya atau Tambatannya pun sesuai dengan sifat atau karakterisasi yang kita inginkan.
Misalkan, kita ingin menempelkan sifat jujur, dan kita telah menyadari kekurangan tersebut. Kita sering tergelincir pada kedustaan, walaupun kecil. Sekecil apapun jika itu kebohongan ya tetap bohong. Maka, kita bisa temukan Tambatan misalkan, berupa:
✓ setiap pertanyaan yang diajukan kepada kita, atau✓ setiap kita bercerita kepada teman-teman, (tambatan)✓ setelahnya (perilaku kebiasaan atau karakter yang ingin kita tumbuhkan), kita niatkan sekuat tenaga untuk berkata apa adanya, tanpa ditambah-tambah. Dan,✓ juga berusaha menghindari "tauriyah" (berkata sebenarnya, tetapi masih global, demi menghindari suatu hal yang bermudharat). Karena tauriyah punya kecenderungan dusta juga, dan hanya digunakan saat-saat momen darurat, misalnya mengancam jiwa kita.✓ Jika, terlanjur keluar kedustaan secara otomatis, maka kita segera merevisinya.
Sehingga dapat kita rumuskan ramuan tersebut:
Setelah ada pertanyaan atau ingin bercerita, aku (akan) berkata apa adanya, tanpa ditambah-tambah, dan jika terlanjur tergelincir berdusta, aku (akan) sesegera mungkin merevisinya.
Penting, kita membuat rumusan reramuan,
✓ agar kita selalu mengingatnya, karena hakikatnya Pemicu dari tindakan adalah pengingat yang terselip dalam kehidupan kita secara alami, bahkan akan menjadi otomatis ketika telah berulang-ulang.
✓ Jika perlu, kita menulisnya di suatu kertas dan dihias secara kreatif, lalu kita menempelkannya, misalkan di dinding ruang kerja kita, atau
✓ jika malu karena itu adalah sifat aib yang mesti disembunyikan, bisa kita menempelkannya di tembok kamar tidur kita, atau juga
✓ kita buat suatu poster di HP, sebagai wallpaper yang selalu tayang, setiap saat.
✓ Dan, penting kita menempelkannya di dinding atau ada di wallpaper HP agar mudah terlihat, sehingga sering kita baca,
✓ dan menjadi Pemicu dari konteks juga, serta
✓ menjadi "self talk" (bicara kepada kalbu) diri kita sendiri,
✓ yang akan terekam di bawah sadar kita, dan akhirnya menjadi sifat atau karakter yang melekat pada diri kita,
✓ dan akhirnya pula menghapus sifat buruk yang kita inginkan.
Perlu diketahui juga bahwa, sifat jujur ataupun dusta itu memang keluar secara otomatis, seperti telah disampaikan oleh ustadz Usamah Mahri dalam Kajian Kitab Raudhatul Uqala' wa Nuzhatul Fudhala, penulis Ibnu Hibban Al-Busty Rahimahullahu. Sehingga ini memang perlu dilatih.
Kebiasaan kecil atau sederhana yang berulang-ulang itu dan akan menjadi karakter atau sifat kita, seolah-olah ia telah memperlihatkan apa yang akan terjadi pada masa depan kita. Karena kita akan mendapatkan apa yang kita ulang-ulang.
Maka, dengan desain rumusan reramuan seperti di atas, kita bisa juga menghilangkan sifat buruk pada diri kita dan mengubahnya atau menggantinya dengan sifat baik. Seperti:
✓ Sombong (suka membantah) menjadi rendah hati.✓ Kleptomani (suka mencuri) menjadi tidak suka mencuri.✓ Acuh tak acuh (tidak empati) menjadi empati.✓ Terburu-buru (isti'jal) menjadi berhati-hati menahan diri (ta'ani).✓ Tidak ramah atau tidak santun menjadi santun.✓ Urakan menjadi lemah lembut.✓ Kurang menghargai menjadi apresiatif (sifat selalu menghargai).✓ Selalu cemberut menjadi banyak senyum dan ceria.✓ Khianat menjadi amanah.✓ Suka ingkar janji menjadi teguh memegang janji.✓ Dan, tentu banyak lagi.
Ini sama saja merupakan proses Karakterisasi atau perubahan Akhlak menjadi baik, asalkan kita cermati menemukan Tambatannya.
Inilah cara mengasah suatu keterampilan kita, dengan membiarkan diri kita bereksperimen dengan cara-cara yang luar biasa. Suatu solusi yang unik dan kreatif. Yang, tidak unik dan tidak kita kira adalah akibat yang berlipat ganda kepada diri kita dan orang lain, dari hasil kebiasaan kecil awal yang berusaha kita tanamkan. Bunga berbunga.
Orang-orang mampu berubah ketika merasa senang, bukan dengan merasa bersalah.
Ingat itu!
- Kecil, mudah dan menyenangkan.
- Perubahan itu bisa terjadi karena: kita membantu diri kita untuk mudah melakukannya, apa yang kita inginkan.
Dan,
- keberhasilan sedikit itu menyenangkan,
- apalagi ditambah keberhasilan-keberhasilan yang kian bertambah, tambah-tambah semakin menyenangkan.
- Kitapun akan berusaha semakin mengejar perasaan-perasaan itu,
- karena kita semakin percaya diri dan kalbu semakin tenang,
- bahwa kita telah diberi Allah Subhana wa ta'ala hal-hal baik dalam kehidupan kita, oleh sebab kita mendesainnya.
Seolah-olah yang tadinya kita sulit menggapainya,
- ternyata semudah menjentikkan jari kita.
- Dan, persepsi kemudahan proses itu semakin memberi motivasi kita,
- dan bahkan membuat kita lebih mungkin untuk mencoba hal-hal baru yang kelihatannya sulit.
Bukankah Allah Subhana wa ta'ala akan mengubah suatu kaum, jika mereka mengubah diri mereka sendiri?
Namun, ada satu hal yang belum kita bahas untuk menyempurnakan amplitudo baik tersebut, yaitu mengakhirinya dengan emosi positif, saat itu juga. Yaitu peringatan rasa bersyukur, yang akan meretas pikiran dan perasaan kita dan memberi kekuatan dahsyat pada diri kita. Kita akan bahas pada tulisan berikutnya.
***
Posting Komentar untuk "#26 Gangguan sebagai Tambatan untuk Perubahan Akhlak"
Posting Komentar