Widget HTML #1

#15 Rantai Kemampuan

          Pertama, kita telah tahu perilaku memiliki 3 variabel yaitu; Motivasi, Kemampuan dan Pemicu. Motivasi tetap kita butuhkan, tetapi bagi Motivasi yang Berubah-ubah untuk konsisten kurang bisa diandalkan. Sehingga sekarang variabel Kemampuan kita coba oprek, karena pada variabel Kemampuan inilah kita bisa utak-atik agar perilaku mampu menjadi kebiasaan. 

          Dan, ternyata Kemampuan juga memiliki beberapa faktor. Ada 5 faktor:

1. Waktu: apakah kita memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perilaku tersebut?

2. Dana: apakah kita mempunyai uang /biaya yang cukup untuk melakukan perilaku itu?

3. Upaya fisik: apakah kita mampu secara fisik (tenaga tubuh) melakukan perilaku tersebut?

4. Upaya kreativitas: apakah perilaku itu membutuhkan banyak ide atau gagasan yang cukup rumit?

5. Rutinitas: apakah perilaku tersebut bisa diselipkan dalam rutinitas kita sekarang, atau perlu ada penyesuaian?
          
          Faktor-faktor tersebut saling berhubungan menjadi Rantai Kemampuan. Dimana, 

kekuatan Rantai Kemampuan tersebut, 

          ditentukan oleh;

faktor kemampuan yang terlemah. 

          Dan, memang paling tepat disebut "rantai", karena; 
  • jika salah satu faktor yang terlemah menjadi kunci permasalahan, 
  • yakni mengapa perilaku tak mampu dilaksanakan, 
  • bisa diselesaikan solusinya, 
  • maka faktor yang lainpun akan otomatis ikut terselesaikan.
          Bagaimana cara menemukannya?
          
Dengan mengajukan Pertanyaan Penemuan; 

"Apa yang membuat perilaku ini sulit dilakukan?"
          
          Dengan pertanyaan tersebut, kita akan berfokus kepada:

✓ Dari ke lima faktor Kemampuan di atas, faktor manakah yang mungkin paling menyulitkan kita? 

          ✓ Jawabannya: 
  • bukan pada kadar "sangat sulit"
  • tetapi "sulit dalam kadar apapunyang akan menahan kita untuk melakukan perilaku tersebut. 
  • Atau kita akan merasa hanya tidak nyaman ketika melakukan faktor tersebut. 
          Kita akan paham, jika kita langsung masuk ke contoh perilaku Belajar dengan Menulis:
          
          Kita mencoba melihat kebiasaan melakukan Belajar dengan Menulis (5 kalimat faedah kajian Islam). Dan, kita preteli dengan alat Rantai Kemampuan:
          
4. Karena Belajar dengan Menulis itu, banyak bersentuhan dengan pikiran, kerativitas, ide dan gagasan kita, maka kita akan mempretelinya dari segi Upaya Kreativitas lebih dahulu, yakni faktor nomor 4. Prediksi kita disinilah sumber permasalahan faktor terlemah yang akan berantai menyelesaikan mata rantai lainnya yaitu faktor-faktor lainnya.

          Untuk hal tersebut, kita telah mengadakan suatu riset spontanitas, berupa mengajukan pertanyaan kepada para peminat Belajar dengan Menulis, yang belum juga memulai untuk Belajar dengan Menulis dari kalangan Salafiyin. Adapun pertanyaannya adalah:
          
          "Apa masalah yang paling menghambat diri kita dalam memulai belajar dan menulis?"
          
          Ada beberapa jawaban mereka, tentang hambatan menulis,
          "Ide menulis, tidak tau bagaimana mau mulai menulis, bingung memilih kata dan menyusun kalimat agar tidak rancu."
          
          Ada yang menjawab,
          "Mau mulai dari mana menulisnya. Dan faktor usia mempengaruhi gak & kalau kita mau mulai belajar menulis."
          
          Yang lainnya menjawab,
          "Kita merasa kurang bahasa. Kurang tertata kurang halus. Acak-acak."
          
          Bahkan, yang lebih panjang lagi, menjawab kurang lebih,
          "Kalau saya masalahnya, ketika ingin  menulis, bingung mau mulai dari mana ceritanya, walaupun terkadang sudah dapat bahan yang ingin ditulis...! Lalu kalau sudah dapat, terkadang kesusahannya lagi saat mau melanjutkan jalan-jalan ceritanya terkadang lari keluar pembahasan."
          
          Baiklah, untuk mempreteli masalah ini, ada baiknya cerita dulu, bagaimana proses aku bisa sampai lancar menulis tanpa hambatan, sampai saat ini.

          Jadi begini, jika dilihat rapot Sekolah Dasar aku, nilai mengarang dan terkait bahasa Indonesia itu bagus, mencapai nilai 9. Berarti sebetulnya aku punya bakat alami untuk bisa menulis.
          
          Namun, apa yang terjadi?
          
          Ketika sekolah pada tingkat perguruan tinggi, untuk kelulusannya mesti membuat skripsi. Yaitu suatu karya tulis setebal kitab ulama. Maka, ironisnya tak satu kalimatpun aku bisa tulis. Akhirnya akupun mencoba mencari-cari referensi skripsi lainnya di berbagai perpustakaan sekolah perguruan tinggi lainnya. Akhirnya, aku gabung-gabungkan skripsi yang aku dapat, disesuaikan dengan kasus proyek skripsi yang sedang aku tangani. Yah ..., setengah menyalin. Apa boleh buat, jika tak bisa dikatakan menyontek. Ups!

          Lalu, ketika setelah lulus dari perguruan tinggi, aku menjadi pengajar di kampus yang dulu aku bersekolah. Ternyata, seorang pengajar dituntut untuk bisa membuat karya-karya tulis agar status keilmiahannya naik terus. Bingung lagi. Akhirnya aku menemukan suatu artikel yang cukup menarik berjudul "Sekolah itu Candu". Aku ingin sekali bisa menulis seperti itu. Mau menulis, bingung mulai darimana, tangan rasanya macet, tidak satu kalimatpun tertulis. Akhirnya tidak ada jalan lain, tulisan itu setengah aku salin dan ditambah-tambah dengan fakta-fakta yang aku alami, jadilah tulisan berjudul "Keterampilan = Nilai?". Juga tulisan berjudul, "Definisi Ilmu, sebagai pemecahan permasalahan pendidikan", yang sempat dimuat di salah satu harian ibukota.

          Setelah itu, aku pernah membaca suatu buku panduan menulis yang berjudul "Menulis secara Populer". Dan, aku sangat tertarik sekali dengan isi materi buku tersebut. Yaitu mengajari kita menulis dengan cara meniru. Karena, saking senangnya dengan buku itu, akhirnya aku mencoba salin dan posting di blogku. Ujung-ujungnya menjadi buku dengan tambahan-tambahan materi yang aku alami. Buku tersebut berjudul "Menulis Artikel, Asyik dibaca".

          Setelah mengalami, menyalin dan menyalin, ternyata sampai sekarang tanpa aku sadari, aku begitu lancar dan mengalir ketika ingin menuangkan ide dan gagasan. Bahkan, jika ada ide yang muncul di benak, rasa-rasanya ingin segera menuliskannya. Sampai-sampai kegiatan lain yang sedang aku lakukan, aku hentikan, demi menulis dan takut kehilangan ide tersebut, karena lupa.
          
          Dari, 
  • pengalaman tersebut berupa berulang-ulang menyalin. 
  • Dan, arahan guru-guru kami yang mengatakan, bahwa para ulama Salafush Shalih banyak yang menyalin Hadits, meringkas kitab-kitab ulama, mengikhtisarkan, dan sebagainya,  
  • yang intinya adalah menyalin atau menulis ulang 
  • Maka, aku berkesimpulan bahwa untuk bisa menulis, apalagi belajar dengan menulis caranya pertama kali tidak lain dan tidak bukan adalah: menyalin, dan menyalin.
          Dan, di awal aku sudah menceritakan bahwa dari kecil, aku sudah memiliki nilai bagus dalam pelajaran Mengarang. 

          Namun, apa faktanya? 

          Ketika telah dewasa mendapat tugas membuat karya tulis saja tidak mampu. 

          Ini karena apa? 

          Karena sejak kecil tidak dilatih menulis dengan cara menyalin atau meniru-niru tulisan yang telah ada. Dan, ini adalah masalah umum bagi kita bangsa Indonesia, kurang memperhatikan pengajaran dalam masalah menulis.

          Jadi, tak ada gunanya bakat, jika itu tidak digali sejak kecil. Apalagi pada umumnya orang tidak semuanya memiliki bakat seperti itu, padahal menulis bukan bakat, tetapi keterampilan yang bisa didapat semua orang layaknya semua orang bisa naik sepeda. Semua orang bisa naik sepeda. Yang sangat terampil mampu atraksi "free style", baru itu yang berbakat.

          Nah, sekarang keterampilan menulis, memang para mentor sering mengumpamakan dengan keterampilan naik sepeda, yang harus dilatih, berulang-ulang.

***
          
          Ada sedikit cerita lagi. 

          Tentang keterampilan naik kendaraan, tetapi ini bukan sepeda, ini tentang sepeda motor. 

          Aku memiliki adik ipar yang tidak bisa menaiki sepeda motor. Mengherankan juga dia yang telah berusia, bahkan telah berkeluarga tidak bisa mengemudikan sepeda motor. Akhirnya aku mengajarinya di tempat sepi di kota tempat kami mudik ketika liburan Lebaran. Tentu saja di tempat sepi, karena adik ipar ini sangat malu bila dilihat orang. Masa sudah sebesar dan setua itu belum mahir mengendarai sepeda motor.

          Nah, sekarang aku dan kita semua, bagi yang telah dewasa atau telah usia mengapa kita tidak mahir menulis? Ya, karena sejak kecil kita tak diajari. Pendidikan kita secara umum kurang memperhatikan pengajaran ketetampilan menulis. Seperti halnya adik ipar sejak remaja tidak ada yang mengajari mengendarai sepeda motor. Adik ipar sangat malu ketika mulai belajar naik sepeda motor, dibimbing seperti anak kecil. Ia ingin terlihat oleh orang-orang pada umumnya langsung terlihat mahir. Sehingga untuk taraf belajar ia mau belajar asalkan di tempat sepi.
          
          Nah, kira-kira kita sudah pahamkah dan mengertikah maksud cerita di atas?
          
          Aku dan kita semua, ingin bisa menulis layaknya artikel-artikel yang keren, memikat dan enak dibaca. Seperti adik ipar ingin orang lain melihat dia mahir mengemudikan sepeda motor.
          
          Sedangkan, untuk mencapai tahap demikian, adik ipar musti belajar mengendarai sepeda motor dengan dibimbing seperti anak kecil belajar naik sepeda. Mungkin kalau itu ia alami ketika remaja, atau seperti anak kecil belajar naik sepeda ia tidak malu. Ini dia telah tua. Dan, setelah melewati belajar di tempat sepi dan mahir, baru ia percaya diri untuk menunjukkan kepada orang-orang ia mampu naik sepeda motor.

***
          
          Jadi, ketahuilah untuk mencapai tingkat kemahiran menulis dengan ide gagasan sendiri, dengan hasil tulisan enak dibaca, teratur dan bahasa yang mengalir, 
  • kita mesti belajar menyalin
  • menyalin 
  • dan menyalin dahulu. 
  • Seperti yang aku alami, menyalin skripsi orang, menyalin "Sekolah itu Candu", menyalin buku "Menulis secara Populer".
          Ekspetasi menulis suatu artikel dengan ide gagasan, 
  • dan tulisan yang sempurna itulah 
  • yang justru menghadang kita untuk memulai menulis. 
  • Menulis dengan menyalin 5 kalimat, akan terlihat kita "begitu bodohnya" 
Benak kita berkomentar pada diri kita sendiri, "Masa' menulis suatu artikel gagasan sendiri tidak bisa? Jika tak bisa, ya sudah jangan menulis, nanti kamu akan terlihat bodoh oleh teman-teman. Kamu tahu sendiri ada ulama yang berkata, bahwa akal-akal seseorang itu pada ujung-ujung penanya. Nah, khan ... Lebih baik tak usah menulis sama sekali. Malu, jika terlihat tak punya akal. Hanya menyalin khan seperti tidak punya pikiran ..."
          
          Padahal, realitasnya para ulama banyak yang menulis hanya dengan menyalin.

          Apakah mereka merasa bodoh? 

          Tidak. Justru itulah mereka merasa bersyukur dengan perilaku "ittiba' ", tinggal mengikuti generasi sebelumnya, maka selamat.
          
          Nah, setelah para ulama menyalin, cara berpikir mereka telah tertata mengikuti manhaj generasi yang diikuti, baru setelah itu mereka mampu menuangkan ide dan gagasan mereka sendiri dengan hikmah dan makna-makna yang sangat dalam. Namun, tulisan mereka tidak menyimpang dari manhaj yang lurus, karena sebelumnya telah berulang kali menyalin tulisan-tulisan ulama sebelumnya, atau Hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
          
          Menulis dengan menyalin hanya 5 kalimat faedah kajian saban hari, atau terjemahan suatu buku Ahlus Sunnah, saban hari adalah suatu perilaku yang mesti kita lewati lebih dahulu. Buat apa malu? Bahkan, ini suatu hal yang penting disyukuri bagi kita sebagai Salafy yang mengikuti jalan-jalan para Salaf.
          
          Jika pun, malu - insya Allah - di komunitas Salafy Asyik Belajar dan Menulis merupakan wadah latihan menulis, misalkan menulis terjemahan kitab-kitab ulama Salaf. Di situ kita bagaikan belajar naik sepeda di tempat sepi. Tidak perlu malu lagi, karena sesama anggota belum bisa, belum berani dan semua masih malu untuk memulai menyalin. Dan, bagi yang telah mahir dilarang mencela yang ikut komunitas tersebut.
          
          Setelah faktor Upaya Kreativitas dalam hal Kemampuan Belajar dengan Menulis ini tersolusikan, dengan membuang kreativitas ide dan gagasan dalam tulisan untuk sementara waktu. Yaitu dengan menyalin, maka faktor yang lainpun secara berantai akan ikut terselesaikan.
          
1. Waktu, dalam perilaku Belajar dengan Menulis, kebanyakan kita, beranggapan menulis 5 kalimat cukup mudah diselipkan dalam hari kita. Setidaknya cukup sebentar dan mudah jika dibandingkan dengan ekspetasi kita harus menulis satu artikel saban hari. 
          
2. Dana, kita dapat melakukan menulis 5 kalimat ini di rumah sendiri, jadi gratis. Dan menulisnya, di gawai cerdas, hampir setiap kita memilikinya. Aplikasi Keep Notes, atau Google Doc pun tinggal dipasang. Beres.
          
3. Upaya fisik, menulis di gadget sangat mudah, bahkan di keseharian kita akrab dengan keypad dalam membalas pesan atau bahkan sekedar komentar. Tak butuh tenaga fisik yang berarti.
         
5. Rutinitas, seperti telah diuraikan pada faktor Waktu, kita akan mudah menyelipkannya di sela-sela kegiatan sehari-hari.
          
Jika, kita hitung waktu yang dibutuhkan,  sebelum menulis kita melakukan perilaku:

✓ Persiapan,
✓ Mendengar rekaman kajian, atau
✓ Membaca catatan kajian, atau
✓ Membaca kitab, atau
✓ Membaca buku terjemahan kitab, atau
✓ Kegiatan belajar lainnya, sebelum menuliskannya.

Dan, kronologis kejadiannya biasanya simultan sebagai berikut:

1. Waktu persiapan, misalkan menyiapkan rekaman kajian atau kitab dan buku, kita cadangkan 5 menit.

2. Mendengar 
  • mendengar beberapa detik (sekitar 2 - 3 kalimat - 10 detik)
  • lalu menulis (sekitar 10 detik)
  • mendengar beberapa detik (sekitar 2 - 3 kalimat - 10 detik), 
  • lalu menulis (sekitar 10 detik) - dan seterusnya. 
  • Jadi kita anggap satu fase sekitar 20 detik ~ 30 detik (pembulatan), menghasilkan 2 kalimat. Sehingga 1 menit (60 detik) kita bisa menulis sekitar 4 kalimat. 
  • 5 kalimat, kita beri cadangan waktu menjadi 2 menit, yang seharusnya menurut logika 8 kalimat.
3. Membaca, membaca hampir sama dengan mendengarkan, 
  • membaca kitab atau buku (sekitar 2 - 3 kalimat - 10 detik) 
  • lalu menulis (sekitar 10 detik)
  • membaca kitab atau buku (sekitar 2 - 3 kalimat - 10 detik) 
  • lalu menulis (sekitar 10 detik) - dan seterusnya.
  • Jadi masih sama dengan proses mendengar kajian, menulis 4 kalimat selama 1 menit. 
  • 5 kalimat adalah 2 menit.
Jika kita gabung dengan waktu persiapan 5 menit + 2 menit = 7 menit, ternyata kita hanya butuh waktu 7 menit, untuk kegiatan:

Persiapan
Mendengar atau membaca 
Menulis 2 kalimat
Mendengar atau membaca
Menulis 2 kalimat
Mendengar atau membaca
Menulis 1 kalimat
              
Hanya 7 menit, setiap hari. Cukup kecil, cepat, mudah dan menyenangkan, bukan?
              
          Dengan, menjaga agar perilaku tetap kecil, kita sama saja membantu agar kebiasaan belajar dengan menulis tertanam dalam rutinitas kita.

          Bisa kita ibaratkan tanaman besar dengan akar kecil. Saat ada angin kencang menerpa, tanaman besar itu mungkin akan ambruk, karena tak tertancap dengan kuat dengan kecilnya akar.

          Begitulah kira-kira cara kerja pembentukan kebiasaan. Jika kita mulai dengan perilaku besar yang sulit dilakukan seperti menulis artikel yang enak dibaca, maka desain perilaku tidak stabil. Ketika badai besar menyerbu kehidupan kita, kebiasaan besar itu terancam.

         Namun, 
  • kebiasaan belajar dengan menulis yang mudah dilakukan, 
  • akan mudah bertahan dari taufan, 
  • bagai tanaman yang fleksibel, dan seterusnya,
  • ia mampu menumbuhkan akar yang
  • lebih dalam dan mencengkeram.
          Jadi, kita butuh memperkuat faktor mata rantai Kemampuan yang terlemah. Dalam hal ini upaya kreativitas dalam belajar dan menulis, upaya ide dan gagasan dalam suatu artikel, kurangi bahkan memang sementara waktu hilangkan dulu, pinggirkan, dan tepikan, dengan cara hanya menyalin.

          Saat kita, mendapat rintangan, misalkan kepala pusing, kita masih sanggup belajar dengan menulis, menyalin 5 kalimat faedah. Dengan memulai dari kecil, kita bisa menciptakan konsistensi, dan masa depan cerah terbentang dengan semakin mungkin kebiasaan belajar dengan menulis berakar dengan kokoh, otomatis dengan sendirinya Motivasi pun semakin kokoh di dalam Kalbu yang kokoh pula.

          Bukankah, iman (baca: motivasi) bertambah dengan amalan (lahiriah - kemampuan fisik) ketaatan? Apakah kita berpikir, bahwa Belajar ilmu syar'i dengan Menuliskannya bukan amalan ketaatan? (nyang bener aje! - logat Betawi mode on).
              
Sosok ulama, Sufyan Ats-Tsauri ketika sakit menjelang wafatnya (betapa berharganya waktu!) masih mencari alat tulisnya untuk menulis suatu faedah agama yang ia dengar dari sahabat yang menjenguknya. Ini tak mungkin mampu ia lakukan jika tanpa diawali dengan kebiasaan belajar dengan menuliskannya yang telah menghujam sangat dalam di kedalaman relung kalbu yang sangat dalam.

***
              
Desain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya


WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Posting Komentar untuk "#15 Rantai Kemampuan"


Tanya - Jawab Islam
Bertanyalah kepada
Orang Berilmu

Menulis Cerita

Kisah Nyata
rasa Novel


Bahasa Arab
Nahwu
Mutammimah

Bahasa Arab
Sharaf
Kitabut Tashrif

Menulis Cerita Lanjutan
Kelindan
Kisah-kisah Nyata


Bahasa Indonesia
Belajar
Kalimat

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel


Bahasa Indonesia
Belajar
Kata

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

Disalin oleh belajar.icu
Blog Seputar Mendesain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya,
mudah, sedikit demi sedikit,
dan
saban hari.