#01 Pendahuluan - Kebaikan, hasilnya tertunda
Kebaikan, hasilnya tertunda
Mengapa kebaikan dan ketaatan begitu berat dilakukan? Dan, mengapa keburukan begitu mudah dilaksanakan?
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menukilkan jawaban dari ulama Salaf,
“Karena saat melakukan kebaikan, dalam jiwa terasa pahit, sementara buahnya belum terasa di depan mata, maka jangan sekali-kali perasaan berat tersebut menyebabkanmu meninggalkan kebaikan tersebut. Berbeda ketika melampiaskan keburukan, manisnya segera dirasakan, sementara akibat buruknya belum terlihat nyata, maka jiwapun merasa mudah melakukannya, maka janganlah perasaan mudah tersebut menggelincirkanmu untuk terjatuh kedalamnya.’’
Kita, manusia mayoritas memiliki Kalbu yang kurang kokoh, mudah goncang dan bergejolak, cenderung kurang sabar, kurang yakin dengan hasil-hasil nanti-nanti. Kita, manusia cenderung terburu-buru (isti'jal) ingin melihat hasil saat itu juga. Dan, inilah akan menjadi sumber masalah.
✓ Mengapa orang merokok, tetap merokok? Padahal ia tahu "rokok membunuhnya".
✓ Mengapa orang berlarut-larut dengan medsosnya? Padahal ia tahu itu membuang-buang waktu dengan percuma.
✓ Mengapa orang makan makanan tidak sehat? Padahal ia tahu itu akan menggerogoti kesehatannya.
Jika kita faham apa yang disampaikan di atas, maka sebabnya adalah:
Akibat jelek yang akan muncul akibat kebiasaan buruk, adalah datang belakangan atau masih nanti-nanti. Sedangkan nikmat hasilnya datang seketika itu juga.
✓ Rokok mungkin akan membunuh orang puluhan tahun kemudian, dengan idzin Allah. Namun, rokok bisa menghilangkan stres saat itu juga.
✓ Membuka-buka medsos tanpa ada alasan jelas akan mengakumulasi waktu, yang jika kita gunakan hal manfaat menghasilkan pekerjaan yang positif. Namun, membuka-buka medsos menghibur orang yang sedang jenuh saat itu juga.
✓ Makan makanan yang tak sehat seperti junk food dalam jangka waktu lama mampu merontokkan badan yang sehat. Namun, makan makanan yang tak sehat membuat meleleh liur kita, waktu itu juga.
Kebiasaan buruk menghasilkan kenikmatan detik itu juga, tetapi akan mengimbali kesengsaraan pada masa akan datang. Bahkan, boleh jadi dibalas hukuman di Neraka, karena keburukan akan terbawa sampai setelah mati.
Ironisnya, kebaikan bekerja sebaliknya, termasuk kebiasaan belajar dan menulis.
Kebiasaan baik menghasilkan kepada kita ketidaknyamanan saat itu juga, dan kesulitan-kesulitan, tetapi kita akan diganjar kenikmatan pada masa depan. Lebih-lebih akan terbawa sampai akhirat, diganjar dengan kenikmatan abadi di Surga.
Padahal kita;
- telah menyadari ilmunya, bahwa hasil tertunda di masa yang akan datang akan kita raih karena kebiasaan baik,
- tetapi ketika saat praktik tindakan mengambil keputusan tiba, hasil langsung atau saat itu juga akibat kebiasaan buruk atau sia-sia, yang menang. Mungkin kita langsung beralih ke kebiasaan sia-sia, seperti buka-buka medsos, dan tak jadi belajar. Hawa nafsu buruk (karakter buruk bawah sadar) bersekongkol dengan bala tentara Iblis berjaya.
- Karena buka-buka medsos memberi hasil kenyamanan saat itu juga. Dibanding belajar, bahkan menulis, dapat hasilnya kapan tahu, gaje - gak jelas.
Jika kita perumpamakan,
ada ramai banyak orang mulai start melakukan kebiasaan belajar, dan mereka bersamaan mulai belajarnya.Bayangkan seperti orang-orang lomba lari marathon, ketika start tentu ramai sekali berdesak-desakan, sampai-sampai sulit mempercepat kecepatan lari.Maka, semakin lama hasil dari belajar, semakin sedikit pula orang yang sanggup mencapai hasil tertunda tersebut.
Bila kita termasuk orang-orang tersebut, dan sabar menunggu hasil tertunda, dengan terus konsisten melakukan kebiasaan belajar dan menulis, maka kita akan menghadapi lebih sedikit persaingan. Dan, pada akhirnya sedikit orang yang mendapat hasil tertunda karena kebiasaan belajar. Beberapa mungkin berguguran di tengah jalan. Seperti kata pepatah:
Kilometer terakhir (garis finish) selalu menjadi tempat yang paling lengang.
Pikiran membangun Kebiasaan Belajar dan Menulis
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
“Biasakanlah berbuat baik, karena kebaikan akan terbentuk dengan kebiasaan.”
Diriwayatkan ibnu Abi Syaibah (35713) sanadnya shahih.
perilaku yang diulang-ulang dengan frekuensi (pengulangan) yang cukup sehingga menjadi otomatis.
1. Proses pembentukan kebiasaan pertama kali dimulai dengan usaha coba-coba. Setiap kali kita menjumpai kondisi baru dalam kehidupan, pikiran kita musti membuat keputusan-keputusan. "Bagaimanakah aku menanggapinya?" Awalnya, kita tidak yakin, "Mampukah aku memecahkannya?"
2. Pada tahap ini, pikiran kita aktivitasnya meningkat. Kita akan menganalisis situasi dan membuat keputusan-keputusan dengan pikiran sadar tentang apa yang harus dikerjakan. Kita akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan berusaha memahami semua. Pikiran sibuk mempelajari aksi-aksi yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Dan, itu tentu saja dengan selesainya masalah kita mendapat imbalan, ganjaran atau balasan yaitu tersolusikan masalah tersebut.
3. Setelah mendapatkan solusi dan itulah ganjarannya yang tak disangka, maka untuk masalah sama yang berulang pikiran kita mengubah strategi. Pikiran kita serta-merta mulai membuat rekaman-rekaman berupa database tentang peristiwa-peristiwa tersebut yang mendahului imbalan itu. "Rasanya, itu bagus, aku pernah mengerjakannya," begitu kira-kira pikiran kita berkata.
Ini adalah lingkaran umpan balik dibalik seluruh tindak tanduk manusia:
mencoba, gagal, belajar, mencoba cara lain.
4. Melalui pengulangan, aksi-aksi yang tak berguna perlahan-lahan hilang, dan gerakan-gerakan yang berguna mengalami penguatan. Begitulah kebiasaan bertransformasi menuju penyempurnaannya.
5. Setiap masalah yang sama menghadang kita, pikiran mulai mengotomatiskan proses solusinya. Kebiasaan kita adalah hanya sekumpulan penyelesaian spontan yang memecahkan masalah secara rutin kita hadapi.
6. Ketika kebiasaan terbentuk, tingkat kegiatan pikiran sadar kita berkurang. Pikiran bawah sadar kitalah yang mengunci petunjuk-petunjuk, dan telah mengetahui bahwa itu bakal berhasil. Ketika kondisi yang mirip muncul di hari-hari berikutnya, pikiran bawah sadar kita sudah tahu pasti apa yang harus dicari untuk menuntaskannya. Tak butuh lagi pikiran sadar menganalisis. Pikiran kita seolah-olah "melompati" proses coba-coba begitu saja.
- Pikiran bawah sadar telah tercetak aplikasi: jika begini, solusinya begitu. Uraian-uraian nalar yang sesuai logika awalnya memerlukan usaha, sekarang menjadi otomatis. Kebiasaan telah solid.
Kebiasaan adalah jalan potong kompas yang timbul dari pengalaman. Yaitu, memori tentang langkah-langkah yang pernah kita ambil dalam memecahkan masalah sebelumnya. Ketika situasinya berulang, pikiran kita mampu mengeksekusi memori ini dan secara spontan menerapkan solusi yang sama.
Mengapa pikiran mengingat masa lalu tersebut?
Karena pikiran mampu membuat perkiraan yang lebih baik tentang apa yang bisa sukses di masa datang.
Pembentukan kebiasaan sangat berguna, karena pikiran sadar adalah sumber kemacetan jalan pikiran. Pikiran sadar hanya bisa memperhatikan masalah satu demi satu.
- Sehingga pikiran sadar kita, jika memungkinkan ia akan mewakilkan tugas
- yang telah diulang-ulang kepada pikiran bawah sadar
- agar bekerja secara otomatis.
Nah, ini terjadi ketika kebiasaan telah menguat. Dengan demikian, jika kebiasaan telah terdelegasikan kepada pikiran bawah sadar, maka pikiran sadar kita bisa memusatkan perhatian pada tugas-tugas baru yang lain.
Ini ibarat sebuah pabrik. Ketika pekerjaan-pekerjaan di dalam suatu pabrik telah berulang, dan itu-itu saja, maka dibuatlah mesin untuk melakukan itu, sehingga otomatis pekerjaan bisa dilakukan, dan hasilnya cepat. Inilah pikiran bawah sadar kita. Sedangkan divisi riset dan pengembangan pabrik bisa melakukan tugas merancang mesin-mesin baru akibat adanya pekerjaan-pekerjaan baru dalam suatu pabrik, dan inilah pikiran sadar kita. Jika pekerjaan-pekerjaan baru telah berulang, maka mesin baru untuk otomatis pekerjaan tersebut telah jadi dibuat, diserahkanlah mesin itu kepada "pikiran bawah sadar" pabrik.
Konteks
Lingkungan seolah-olah seperti tangan tak terlihat yang membentuk kebiasaan kita. Contoh lagi,- di masjid kita cenderung tidak berisik,
- lain halnya di pasar yang merupakan medan area kebisingan.
- Begitu pula di jalanan gelap, kita akan berusaha waspada.
Maka, salah satu penyebab perubahan perilaku yang umum, selain dari dalam diri kita (Motivasi), juga dari luar.
Terkadang, kita diubah oleh dunia yang meliputi kita. Setiap kebiasaan, terkadang tergantung pada konteks.
Bahkan bukankah ada quotes,
"kepekaan itu memang dari dalam, akan tetapi mampu dilatih perlahan-lahan dari luar."
Memang betul, di era informasi kini kita musti piawai bisa melakukan apa saja tanpa dipengaruhi lingkungan. Iya memang, itu bisa jadi mampu kita lakukan, tetapi jika kebiasaan-kebiasaan menulis telah solid terbentuk, sudah terotomatis begitu saja di pikiran bawah sadar kita. Dan, Motivasipun semakin kuat.
Namun, untuk memulai kebiasaan belajar dan menulis yang bagi kita masih baru, sangat darurat kita butuh konteks lingkungan yang menimbulkan kebiasaan belajar dan menulis. Karena, kebiasaan menulis itu sedang proses dilahirkan. Sesuatu yang baru lahir atau baru tumbuh perlu kita rawat, kita jaga karena ia masih lemah. Dalam perjalanan waktu ia semakin menguat, dan semakin spontan, cukup terdelegasikan kepada pikiran bawah sadar kita.
Jika menginginkan kebiasaan belajar dan menulis yang stabil dan terduga, kita juga membutuhkan lingkungan yang stabil dan terduga. Lingkungan stabil, tempat tumbuhnya kebiasaan belajar dan menulis mudah terbentuk.
- Memang, kita melakukan kebiasaan belajar dan menulis semestinya kita motivasikan niat untuk ikhlas semata-mata karena Allah Subhana wa ta'ala, ingin mendapat pahala syurga dan ingin bertambah ilmu sesuai kebiasaan para ulama generasi awal.
- Namun, hal tersebut dapat kita luruskan Motivasi atau Niat Sadar kita dan tanamkan di dalam kalbu pada kebiasaan belajar dan menulis, jika telah terbiasa, nikmat menjalaninya, dan telah terjadi otomatisasi kebiasaan menulis.
Namun, untuk membangun kebiasaan belajar dan menulis yang baru mulai, kita perlu menyulut hasrat kita. Kita selalu ingin berusaha menjadi baik. Atau minimal setidaknya kita tak mau terlihat kekurangan kita, bahkan tentu saja kita malu di hadapan Allah ta'ala memiliki identitas pemalas, pengingkar bahkan pengkhianat.
Siapa yang tak ingin menjadi terbaik di langit?
Tentu saja tak ada. Kita semua tentu ingin menjadi terbaik untuk melakukan kebiasaan belajar dan menulis. Karena, jika kebiasaan belajar dan menulis mampu kita jalankan secara konsisten, tentu akan mendapat keridhaan Allah ta'ala. Kita ingin disukai, dan kita ingin ditolong oleh-Nya.
Semua konteks lingkungan hanya untuk memicu hasrat kebiasaan menulis yang masih baru lahir.
Sebagaimana para ulama, ketika menuntut ilmu pertama kali, mereka menyatakan tidak ikhlas. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya ilmu, maka rasa ikhlas dalam hati lebih mudah ditata dan dikembalikan pada jalur yang semestinya.
Adapun jika kita telah terbiasa, dan mudah melakukan kebiasaan belajar dan menulis, maka selayaknyalah strategi-strategi di atas ditiadakan. Dan, Motivasi kita menguat, lalu mulai menata hati, meluruskan niat karena Ar-Rahman semata.
***
Posting Komentar untuk "#01 Pendahuluan - Kebaikan, hasilnya tertunda"
Posting Komentar